Bahaya sodomi
Tahukah anda tentang kekerasan seksual yang sering terjadi kepada anak anak ?
salah satunya adalah sodomi.di Indonesia korban sodomi setiap tahun meningkat.berikut adalah penjelasanya
Kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak wajib diwaspadai oleh para orangtua. Banyak kasus semacam ini terjadi di Indonesia belakangan ini, entah karena publik yang sudah terbuka atau memang intensitas kasus yang meningkat.
Sebagai orangtua, mereka wajib memiliki awarness terhadap kondisi anaknya agar tak menjadi korban pelecehan atau bahkan kekerasan seksual. Melihat kondisi kasus yang ada, kebanyakan kasus yang terbuka menunjukan bahwa kepekaan orangtua terhadap kondisi anaknya akan melindungi dirinya dari kejahatan seksual disekitar anak.
Salah satu pengetahuan yang harus dimiliki orangtua adalah memahami apa yang terjadi pada seorang anak setelah dirinya mengalami tindakan kekerasan seksual seperti sodomi.
Dalam salah satu tulisan yang mengutip dari psikolog forensik dari Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Reza Indragiri Amriel, dikatakan pemeriksaan dubur untuk mengenali anak-anak korban sodomi sebenarnya tidak membutuhkan prosedur khusus. Pemeriksaan anus bahkan dapat dilakukan hanya dengan mata telanjang.
“Anak atau siapa pun yang telah menjadi obyek penyemburitan atau sodomi akan memiliki anus berbentuk corong. Mirip dengan tabung kaca yang ada pada lampu semprong. Benar-benar bolong seperti tabung. Lewat pemeriksaan mata telanjang, anus berbentuk corong itu bisa langsung dilihat, jadi tak membutuhkan prosedur khusus,” ungkap Reza melaluiKompas.com.
Akibat perlakuan sodomi, lanjutnya, korban biasanya akan mengalami masalah dengan organ pencernaannya, terutama saat buang hajat. “Benar-benar bolong seperti tabung. Efeknya, mereka akan kesulitan menahan buang air besar karena otot-otot penahan pembuangannya sudah rusak,” ujar Amriel.
Amriel menekankan, walaupun tidak dibutuhkan prosedur khusus, pemeriksaan sebaiknya dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan dampak psikologis anak-anak yang menjalaninya. Sebelum pemeriksaan, perlu ada pendekatan dan sosialisasi yang tepat kepada anak dan pihak keluarga.
Dubur rusak sebabkan infeksi
Menurut Dr. Ari F Syam, Staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, salah satu hal yang harus diwaspadai dari kasus sodomi adalah perlukaan atau rusaknya dubur pada korban, khususnya anak-anak. Informasi dari kedua orang tua yang anaknya menjadi korban sodomi menyampaikan bahwa anak-anak mereka yang mengalami perlakukan sodomi mengeluh sakit saat buang air besar (BAB).
“Ini adalah gejala akut akibat perlakuan sodomi kepada anak-anak tersebut. Kita tahu bahwa dubur tidak siap untuk menerima masuknya benda dari luar maka jika masuknya benda tersebut dilakukan secara dipaksa dan tanpa diberikan lubricant (pelumas) maka akan menyebabkan dinding anus dan bagian poros usus (rektum) rentan untuk luka,” ujar Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PAPDI) JAYA itu dalam Blognya.
Tentu perlu dievaluasi dan pemeriksaan lebih lanjut oleh tim medis gangguan yang telah terjadi pada anak-anak tersebut. Apakah telah terjadi luka atau juga telah terjadi robekan.
Lanjutan dari perlukaan yang terjadi pada dubur anak-anak tersebut juga perlu dievaluasi. Kondisi luka tersebut akan memudahkan tertularnya berbagai infeksi dari pelaku sodomi tersebut. Pastinya anak-anak yang disodomi berada pada posisi di paksa sehingga secara fisik dan psikis tidak siap untuk menerima perlakukan sodomi tersebut.
Berbagai infeksi bisa terjadi pada korban sodomi jika memang si pelakua sodomi mengalami infeksi. Pemeriksaan yang lengkap juga harus dilakukan pada pelaku sodomi meliputi pemeriksaan darah dan pemeriksaan fisik untuk mengetahui penyakit infeksi yang ada dan kemungkinan penularan pada korban sodomi tersebut.
Berbagai penyakit infeksi karena hubungan seksual yang mudah ditularkan melalui sodomi ini antara lain HIV, herpes simplex, hepatitis B, hepatitis C dan human papiloma virus (HPV) perlu diidentifikasi. Selain itu infeksi bakteri juga perlu diskring pada pelaku tersebut antara lain meliputi infeksi gonorea, khlamidia, syphilis dan shigelosis. Kasus sodomi pada anak berulang kembali, korban sodomi selain akan mengalami guncangan psikis, kondisi fisik juga akan berisiko terjadinya berbagai penyakit.
Secara psikis, informasi dari orang tua, menyampaikan bahwa anak-anak mereka mengalami perubahan perilaku lebih banyak diam, bahkan ada satu anak yang lebih memilih untuk menyendiri. Satu anak dilaporkan sering mengigau. Pemerintah daerah harus melakukan bantuan kepada seluruh korban baik untuk trauma healing maupun pengobatan medis bagi korban-korban sodomi, karena informasi dari laporan orang tua korban jelas bahwa secara fisik dan psikis para korban telah mengalami guncangan hebat. Tim medis harus terdiri dari dokter anak, dokter bedah, dokter kulit kelamin, dokter kesehatan jiwa (psikiater) dan psikolog. Penanganan harus dilakukan secara tim karena dampak yang terjadi pada anak tersebut juga multi patologi.
Kasus sodomi di JIS
Sekitar Maret 2014, Indonesia digemparkan berita menyangkut dugaan kasus kekerasan seksual di TK JIS. Seorang anak berinisial AK alias MAK (yang waktu itu berumur 5 tahun) diduga sebagai korban, dan ibunya melaporkan kasus itu ke polisi. Kasus itu segera mencuat, dan menjadi buah bibir banyak orang, karena melibatkan sekolah yang sangat terkenal ketat penjagaan dan pengawasannya. Lalu perjalanan kasus itu pun bergulir dengan cepat, seiring media-media di Indonesia yang terus memberitakannya dengan gegap gempita.
Ada hal menarik dari tuduhan sodomi dalam kasus asusila yang terjadi di Jakarta internasional School atau JIS (sekarang Jakarta Intercultural School), yaitu kontradiksinya antara tuduhan dengan fakta dilapangan termasuk fakta medis yang terlaporkan dalam sidang.
Dalam kasus tersebut, menurut matrik peristiwa bahwa sodomi dilakukan secara berulang kali dan secera bergiliran oleh terdakwa, masing-masing pada 21 Januari 2014, sodomi sebanyak 3 kali dilakukan oleh 3 orang terdakwa secara bergiliran. Kemudian pada Februari (tanggalnya dikatakan lupa) sodomi dilakukan total sebanyak 10 kali dilakukan oleh 5 orang terdakwa secara bergiliran.
Lalu pada 17 Maret 2014, tuduhan sodomi sebanyak 4 kali dilakukan oleh 4 orang terdakwa secara bergiliran. Artinya, korban secara fisik dalam pemeriksaan medis seharusnya memiliki ciri kuat dari seorang korban sodomi yang disebutkan oleh psikolog Forensik UI, Reza Indragiri Amriel.
Kenyataannya, hasil pemeriksaan dokter/Visum Et Refertum (VER) dari SOS Medika menyatakan tidak ada luka pada dubur, tidak ada bekas goresan, otot dubur normal. Ada juga hasil dari RSCM menyatakan bahwa tidak ada kelainan pada dubur, tidak ada luka atau bekas luka. Terakhir dari RSPI juga menyatakan tidak ada luka, tidak ada kelainan pada lubang pelepas.
Bahkan, hasil pemeriksaan dari Rumah Sakit Women and Children di Singapura yang diperkuat dengan rekomendasi pengadilan negara itu juga mengatakan hal yang sama, anuscopy menunjukan anus anak normal dan tidak menunjukan robekan atau luka sodomi.
Patra M. Zen, pengacara tersangka kasus itu, memperlihatkan foto-foto anak korban sodomi itu di pengadilan, dan menyatakan bahwa foto MAK itu diambil oleh seorang guru yang memang bertugas untuk memotret kegiatan para siswa. Foto pertama, diambil tanggal 18 Maret, MAK sedang bermain perosotan. Satunya lagi tertanggal 19 Maret, MAK sedang berenang.
Padahal berdasarkan laporan ibu korban, MAK disodomi pada tanggal 18 Maret di toilet sekolah. Dan kata ibu korban, MAK tidak mau pakai celana, tidak mau basah. Tapi ternyata MAK tetap melakukan kegiatan. Ia tetap berenang dan main perosotoan. Foto-foto itu memperlihatkan anak tersebut bahagia.
Padahal, jika mengikuti penuturan dari ibu MAK terlihat dahsyat dan brutalnya tindakan sodomi yang terjadi pada anaknya itu. Saat memberi kesaksian di pengadilan, ibu MAK menyatakan bahwa MAK trauma berat pada tanggal 18-20 Maret 2014, setelah mengalami kekerasan seksual oleh Azwar, Syahrial, dan Zainal, pada tanggal 17 Maret 2014 pukul 10:00 WIB. Kemudian, pada 21 Maret 2014 pukul 10:00 WIB, menurut ibu MAK, anaknya kembali mengalami kekerasan seksual oleh empat orang, yaitu Azwar, Zainal, Virgiawan, dan Syahrial.
Tetapi, berdasarkan foto-foto di JIS yang diambil pada tanggal-tanggal tersebut, kondisi MAK tampak ceria, sedang bermain dengan teman-teman sekelasnya. MAK sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda trauma seperti yang disampaikan ibunya. Anak itu bahkan tampak asyik bermain-main perosotan dengan teman-temannya, dengan keceriaan khas anak-anak, dengan rona wajah penuh kegembiraan.
Namun sayangnya, oleh majelis hakim fakta-fakta semacam ini dikesampingkan begitu saja. Meski keputusan adalah hak majelis hakim, namun ini menimbulkan kesan betapa timpangnya potret keadilan di negeri kita tercinta.
0 komentar:
Posting Komentar